Berbicara masalah agama memang sangat rumit bagi kita dalam memahaminya. Tak sedikit dari pemahaman manusia akan adanya agama bertolak belakang dari apa yang sejatinya ada pada agama. Pemahaman-pemahaman yang kurang mendalam dari apa yang sejatinya ada pada agama mengakibatkan penilaian yang muncul lebih cenderung negatif. Banyak yang mengatakan agama sebagai sumber permasalahan sosial, sumber tindak kekerasan, dan seterusnya, sampai pada titik perlunya agama dihilangkan dari peradaban untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun yang dibutuhkan saat ini bukanlah memikirkan bagaimana menghilangkan agama dari tatanan sosial, tapi bagaimana menjadikan agama supaya bisa menjawab permasalahan-permasalahan sosial. Karena tidaklah mungkin memisahkan agama dari tatanan kehidupan sosial. Justru hadirnya agama di sini sebagai solusi untuk menjawab berbagai macam problematika sosial yang ada.
Kareen Armstrong dalam bukunya Fields of Blood memberikan tanggapan tersendiri terhadap pandangan yang beranggapan bahwa agama sebagai sumber kekerasan atau peperangan, dan bertanggung jawab atas rentetan terorisme yang kian kerap terjadi. Dalam bukunya tersebut Kareen melakukan penelusuran historis yang cukup luas, dari mulai epik Gilgamesh hingga Al-Qaeda, merentang masa 3000 tahun sebelum kelahiran Kristus hingga zaman sekarang. Sampai pada akhirnya Kareen sendiri memberikan kesimpulan bahwa alasan sesungguhnya bagi perang dan kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia sangat sedikit hubungannya dengan agama. Alih-alih berakar dari inti ajarannya, fenomena kekerasan merupakan reaksi terhadap kekuasaan negara, kapitalisme dan modernisme yang dibungkus dengan bahasa agama. Bahkan Kareen sendiri memperlihatkan bagaimana agama dapat meredakan kemarahan ini-dan harapan bagi perdamaian diantara orang-orang beragama berbeda di zaman kita.
Begitupun Bryan S. Turner yang dalam bukunya Relasi agama dan teori sosial kontemporer menjelaskan terkait hubungan antara agama dengan tubuh manusia secara fisik. Dalam hal ini, agama dikaitkan dengan kelahiran, pertumbuhan, kematangan, dan kematian.Turner juga menjelaskan bahwa agama adalah salah satu mekanisme untuk mengontrol kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Sosiologi agama yang dibawakan oleh Turner tidak hanya berfokus pada kehidupan subjektif orang per orang dalam menjalankan agamanya, tetapi juga pengaruh agama (ritual ataupun non ritual) ke dalam tatanan sosial bertemakan kelas sosial (Karl Marx), mode produksi, dan kekuasaan. Selain itu, agama dalam lingkungan sosial membentuk sebuah identitas dengan symbol tertentu yang mengikat anggotanya (Peter Berger). Gambaran besar diberikan oleh Turner mengenai hubungan agama dengan teori-teori sosial yang telah dikenal tidak hanya dari sudut pandang materialis tetapi juga sudut pandang historis dan sosiologis.
Perlunya bagi kita untuk memahami apa yang sejatinya ada pada agama. Terutama terkait peranan yang sangat besar dari agama dalam ruang lingkup sosial. Jarang ketika kita melihat orang yang agamis berbicara soal kemanusiaan, kesetaraan, dan hal-hal yang bersifat sosial lainnya. Malah kebanyakan yang terlihat hanya berbicara tentang hal yang bersifat ritualitas saja. Kalaupun muncul perdebatan bukan menjawab masalah sosial, melainkan masalah halal/haram dan surga/neraka yang di prioritaskan. Padahal hukum yang muncul dari suatu agama mengandung nilai sosial tersendiri bagi para pemeluknya. Maka di sini perlunya kita gali status agama sebagai solusi dari berbagai macam problematika sosial yang ada.
Terutama berbicara agama islam, agama yang banyak dikenal di penjuru dunia dengan semboyan nya yang mengatakan Islam rohmatan lil 'alamin harus di wujudkan dengan bukti yang nyata dalam menanggapi berbagai macam persoalan yang ada, terlebih masalah sosial. Islam harus tampil lebih awal ketika berbicara masalah sosial. Karena sejatinya islam sendiri lahir untuk menjawab ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi. Dulu, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, islam hadir paling terdepan dalam menjawab permasalahan sosial yang ada. Pada saat itu struuktur masyarakat Arab mencerminkan ketimpangan sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran Nabi Muhamad, ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu. Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu berada pada tempat yang sangat rendah.
Sejatinya islam ada di garda paling depan dalam membela ketidak adilan, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya dari masa ke masa paham tentang keislamannya sendiri telah berubah, lebih cenderung bersifat skolastik dan spekulatif. Dan itu terjadi mulai sepeninggal Nabi SAW sampai sekarang. Maka perlunya kita untuk merevitalisasi nilai-nilai keislaman, untuk mengembalikan apa yang sejatinya ada dalam tubuh islam. Sehingga islam akan bisa diterima disemua kalangan, dan ajaran-ajarannya akan selalu relevan dengan kondisi sosial yang ada.
Sudah banyak tawaran yang di kemukaan oleh tokoh-tokoh muslim sendiri, terkait pemahaman yang ideal dalam agama islam. Seperti Asghar Ali Engineer yang mengkampanyekan teologi pembebasannya secara mendasar. Dalam pemikirannya dipaparkan secara jelas tentang pembebasan yang ada dalam ajaran islam, berdasarkan kajian historisitas turunnya agama islam sebagai pembebas dari sistem sosial yang ada di bangsa Arab pada waktu itu, dan juga berlandaskan ayat-ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang pembebasan budak, kesetaraan manusia, keadilan ekonomi, dan ayat-ayat pembebasan lainnya. Kemudian pembacaan yang dilakukan Asghar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pembebasan, Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement- nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.
Begitupun teologi pembebasan yang ditawarkan Farid Essack, yang tidak jauh berbeda dari apa yang ditawarkan Asghar. Walaupun sedikit ada perbedaan dalam hal metodologi. Asghar dalam mengkonstruksi teologi pembebasanya lebih menggunakan metode dekonstruksi, metode analisis praksis sosial, dan metode hermeneutika kontekstual. Sedangkan Esack dalam mengkonstruksi teologi pembebasannya hanya menggunakan hermeneutika, di mana hermeneutika tersebut ia gunakan untuk menafsiri ulang teks yang terkait tentang teologi, guna menghasilkan makna konstekstual dan revolusioner pembebasannya. Tetapi keduanya sama-sama menunjukkan komitmen mereka dalam melakukan pembebasan, dalam artian membela ketidak adilan, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya.
Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas, kita sudah bisa memahami bahwa perlu adanya rekonstruksi sekaligus pengembangan pemahaman keislaman kita dengan pemahaman yang lebih revolusioner, dengan tujuan agar kita tidak memahami islam secara sempit, melainkan pemahaman yang lebih bersifat inklusif dan fleksibel, sehingga islam akan menjadi agama yang diakui di sepanjang zaman. Kemudian selain itu, yang terpenting bagi kita adalah pengaktualisasian tentang nilai-nilai keislaman yang revolusioner dalam kehidupan sehari-hari, dengan di buktikan dengan sikap yang selalu tanggap terhadap kondisi sosial yang ada. Karena jelas ketika ada bermacam-macam teori yang ditawarkan tanpa adanya aktualisasi ataupun pengejawantahan yang jelas dari kita, maka itu merupakan sebuah wacana yang hanya akan membebani kita. Seperti salah satu peribahasa yang diungkapkan oleh salah satu tokoh filsuf dunia Friedrich Engels, yang berbunyi "satu ons aksi lebih berharga daripada satu ton teori". (oleh: Bukan Gagon)
=D>
BalasHapus